Peluncuran 10 Video Agama di Era Artficial Intelligence Hasil Pemikiran Denny JA
- Penulis : Rhesa Ivan
- Sabtu, 03 Agustus 2024 11:11 WIB

Justru ruang publik penting sekali diisi oleh kelompok progresif agar tafsir mereka menjadi arus utama dalam isu-isu krusial saat ini seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan diskriminasi LGBT. Perebutan tafsir itu sudah dilakukan oleh kalangan progresif di Amerika dan Eropa.
Berbeda dengan kaum sekularis dan ateis, Denny JA tidak menolak agama.
Alih-alih, Denny justru menyelami samudera agama dan mengambil mutiara yang tersimpan di dalamnya. Ia belajar dan mengambil banyak dari renungan-renungan ulama-penyair-sufi Jalaluddin Rumi yang memandang hati sebagai rumah Tuhan dan diri sebagai semesta sehingga lahir kesadaran mengenai rasa menyatu (oneness) dengan keseluruhan.
Baca Juga: Hijrah Berkali-kali Ala Denny JA: Buku Inspirasi Untuk Milenial dan Generasi Z
Berbeda dengan Spiritualitas Gerakan New Age yang skeptis terhadap sains dan agama, Denny JA justru mengembangkan jenis spiritualitas yang didasarkan pada riset sains.
Itulah yang disebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 yang sepenuhnya narasi pengetahuan.
Dan dia mengambil intisari agama yang bersifat universal tanpa mereduksi keunikan setiap agama, apalagi mencampakkannya.
Agama tumbuh dalam budaya yang berbeda-beda di setiap negara, dan berdasarkan itu muncul tafsir yang sesuai dengan kebutuhan kontekstual.
Berdasarkan itu Denny JA menyerukan agar umat Islam Indonesia, misalnya, mengembangkan tafsir mereka sendiri yang sesuai kebutuhan. Sebagaimana umat Islam di Eropa yang mengembangkan tafsir mereka sendiri.
Dari sepuluh tema yang ditayangkan dalam video buku ini, benang merahnya dapat ditarik dari gagasan utama Denny JA yaitu: “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia.”
Baca Juga: Denny JA Sebut Kreator yang Memakai Bantuan AI Untuk Karya Seni Akan Kian Dominan dan Bertahan
Gagasan Denny JA ini menjadi kontribusi terpenting bagi perdamaian dunia, setelah gagasan Hans Kung mengenai Dialog Agama, dan gagasan Nurcholish Madjid mengenai pluralisme agama (agama-agama itu banyak, tapi satu), demikian Ahmad Gaus.***