DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Wahai Para Esoteris, Berkumpulah

image
Sportyabc.com/kiriman

Tulisan Seri Menumbuhkan Sisi Spiritualitas Manusia (2)

SPORTYABC..COM - “Kebenaran ada di dalam kita. Tetapi kita mencarinya di luar.” – Sri Ramana Maharshi
Kutipan ini adalah panggilan untuk menengok ke dalam diri. Ramana Maharshi mengingatkan kita bahwa kebenaran sejati berada dalam batin kita sendiri.

Pencarian ini bisa terjadi dalam agama apa pun, atau bahkan di luar agama. Dalam diri kita, ada realitas yang menanti untuk ditemukan.

Apa pun agama atau keyakinan kita, perjalanan spiritual yang mendalam adalah perjalanan menuju ke dalam, ke akar batin kita.

Mengapa? Karena di dalam diri, kita menemukan makna yang melampaui sekat agama, melampaui batasan budaya dan keyakinan, melampaui segala yang memisahkan.

Di sanalah kita menemukan pondasi batin yang menyatukan kita sebagai manusia, sesuatu yang tetap teguh bahkan di tengah perbedaan.

Neurosains dan Spiritualitas

Penelitian neuroscience memberikan bukti bahwa ketika manusia merenungkan sesuatu yang kudus—apa pun nama atau bentuknya—bagian otak yang sama menyala.

Studi yang dipublikasikan dalam Social Neuroscience menunjukkan bahwa saat meditasi atau doa, korteks prefrontal dan parietal dalam otak manusia mengalami peningkatan aktivitas. 1

Korteks prefrontal bertanggung jawab atas kesadaran diri, sedangkan parietal terkait dengan orientasi spasial.

Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman spiritual, terlepas dari agama atau keyakinan, adalah respons yang tertanam dalam otak kita.

Spiritualitas adalah respons biologis yang menghubungkan kita sebagai homo sapiens, seolah-olah ada pusat spiritual dalam otak kita yang dirancang untuk merasakan Yang Kudus.

Agama yang kita anut sering kali dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya tempat kita tumbuh. Aneka agama yang ada saat ini, seperti Hindu, Yahudi, Buddha, Kristen, dan Islam, berasal dari sekitar 2.000 hingga 4.000 tahun yang lalu.

Namun manusia telah hidup sebagai homo sapiens selama 300.000 tahun, jauh sebelum agama formal hadir.

Berbagai agama besar yang kini dominan baru dikenal di ujung 1–2 persen sejarah manusia. Artinya, 98 persen sejarah spiritualitas manusia berjalan tanpa agama-agama formal yang kita kenal hari ini.

Ini menunjukkan adanya sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih universal dalam batin manusia, yang melampaui agama-agama yang ada.

Data ini mempertegas bahwa spiritualitas bukan sekadar produk budaya atau agama tertentu, tetapi merupakan bagian integral dari diri kita sebagai manusia.

Neuroscience mengungkapkan bahwa pusat spiritual di otak adalah respons universal, yang menunjukkan bahwa manusia, tanpa memandang agama atau keyakinan, memiliki kemampuan alami untuk merasakan kehadiran yang Ilahi

Saat ini, dunia memiliki sekitar 4.200–4.300 agama yang diakui, masing-masing dengan ajaran, dogma, dan ritualnya. Namun bagi para esoteris, atau pencari spiritualitas yang lebih dalam, ada sesuatu yang melampaui agama-agama formal ini.

Jumlah ini terus bertambah, menunjukkan bahwa agama adalah bagian dinamis dari kehidupan manusia, yang berkembang mengikuti zaman dan konteks budaya.

Di sinilah muncul gagasan tentang kesatuan transendental, yaitu keyakinan bahwa di balik semua agama memancar kebenaran yang relatif sama, yang abadi dan universal.

Kesatuan transendental ini menyatukan semua tradisi agama dalam pengalaman yang mendasar, pengalaman yang menyentuh kedalaman batin kita.

Ketika kita menyelam hingga ke akar batin, melampaui simbol dan ritual luar, kita menemukan kesatuan yang melampaui perbedaan.

Setiap agama memang menawarkan jalan sendiri untuk mendekati Ilahi, dan jalan itu dipengaruhi oleh budaya dan sejarahnya masing-masing.

Namun, di balik semua itu, ada fondasi batin yang sama. Studi neuroscience menyatakan pengalaman transendental dihasilkan oleh bagian otak yang sama, terlepas dari perbedaan agama.

Kebutuhan akan spiritualitas adalah kebutuhan universal manusia. Dengan menyelami akar batin, kita menemukan pengalaman spiritual yang lebih asli.

Setiap agama memiliki pengalaman mistis yang langsung dan personal, yang melampaui tafsir dan aturan.

Inilah kedamaian dan kedalaman yang melampaui kata-kata dan simbol.
Menyelami akar batin juga membantu kita mengembangkan pemahaman yang lebih inklusif dan toleran.

Dengan melihat keindahan dan kebenaran di balik setiap agama, kita mengurangi rasa terancam oleh perbedaan.

Ini pemahaman yang menjadi jembatan di dunia yang penuh konflik, dan mengingatkan kita akan kesatuan yang lebih dalam.

Lima Prinsip Kesatuan Transendental

Kesatuan transendental dapat diringkas dalam lima prinsip dasar yang mencerminkan inti dari semua tradisi spiritual.

Pertama, Realitas Transendental. Setiap agama mengakui adanya Kebenaran Absolut yang melampaui dunia fisik dan pemahaman manusia biasa. Realitas ini adalah tujuan akhir dari semua pencarian spiritual.

Kedua, Kehadiran Ilahi di Dalam Diri. Setiap agama mengajarkan bahwa unsur Ilahi atau percikan ketuhanan ada di dalam diri manusia. Dengan demikian, kita semua membawa esensi Ilahi yang menghubungkan kita dengan yang gaib.

Ketiga, Cinta sebagai Jalan Menuju Kesatuan. Cinta dianggap sebagai jalan utama untuk mencapai persatuan dengan Ilahi. Semua agama menekankan cinta, compassion, dan kasih sayang sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menciptakan harmoni dengan sesama.

Keempat, Pengendalian Diri. Semua tradisi mengajarkan pentingnya pengendalian diri sebagai jalan untuk membersihkan jiwa dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi.

Kelima, Pengalaman Mistis sebagai Jalan Langsung menuju Realitas. Semua agama mengakui bahwa pengalaman mistis adalah cara langsung untuk merasakan kehadiran Ilahi. Melalui meditasi, doa, atau zikir, kita bisa menyentuh kebenaran yang melampaui bentuk dan doktrin.

Kelima prinsip ini bukan sekadar konsep. Ini adalah pondasi yang menyatukan, tempat manusia dapat menemukan arti sejati kehidupan.

Kritik terhadap Kesatuan Transendental

Meski gagasan kesatuan transendental menawarkan pandangan inklusif, ia tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama adalah tuduhan relativisme, yaitu bahwa pandangan ini meremehkan perbedaan teologis penting antara agama-agama.

Pandangan bahwa semua agama sama-sama benar bisa dianggap mengaburkan esensi dari setiap agama dan mengecilkan identitas uniknya.

Gagasan ini juga dianggap mengaburkan identitas agama itu sendiri. Dengan meyakini semua agama sebagai jalan menuju kebenaran yang sama, banyak yang merasa kehilangan keunikan dan nilai-nilai spesifik dari agama mereka.

Selain itu, pandangan kesatuan transendental ini dianggap idealis dan sulit diterapkan dalam dunia nyata.

Setiap agama memiliki dogma dan pandangan eksklusif yang sulit disatukan tanpa mengorbankan identitas.
Namun, dalam dunia yang semakin terhubung, pandangan kesatuan transendental ini membawa harapan.

Bukan untuk menghapus identitas atau meremehkan perbedaan, tetapi untuk mengakui bahwa di balik semua itu, ada inti yang sama.

Pandangan ini adalah panggilan untuk menghargai kedalaman spiritual yang menyatukan, bukan untuk melebur perbedaan, melainkan untuk melihat kebenaran yang lebih mendalam.
Penutup: Menyadari Kedalaman yang Menyatukan

Di dunia yang penuh perpecahan, kesatuan transendental bukanlah gagasan untuk menghapus identitas agama. Ini adalah pengakuan bahwa di balik semua perbedaan itu, ada inti yang sama.

Panggilan untuk menyelami hingga ke akar batin, menemukan kebenaran yang melampaui bentuk, dan kedamaian yang kokoh.

Menyelam hingga ke akar batin adalah perjalanan menuju penyatuan yang lebih mendalam, bukan hanya dengan Yang Gaib, tetapi dengan sesama manusia dan diri kita sendiri.

Perjalanan ini menuntut keterbukaan, kejujuran, dan kerendahan hati. Setiap langkah membawa kita lebih dekat pada pemahaman bahwa kedamaian sejati terletak pada kedalaman, bukan pada kesamaan yang dangkal.

Apa pun nama yang kita berikan pada Tuhan, bagaimana pun cara kita menyembah-Nya, Yang Ilahi melampaui bentuk-bentuk lahiriah. Ia memenuhi kedalaman jiwa yang mencari kedamaian dan makna.

Ini adalah undangan bagi setiap jiwa untuk menyelam hingga ke akar batin dan menemukan yang kudus, yang melampaui batas waktu dan tempat.

Apa pun agama yang kita peluk, kita justru disarankan untuk tetap teguh memeluk agama itu, tetapi selami hingga ke bagian esoterisnya, ke samudera batinnya. Tetapi bagi yang tak meyakini agama apa pun, ruang spiritualitas itu tetap hadir di syarafnya.

Kesatuan transendental bukanlah sekadar ide, tetapi panggilan untuk mengalami dan menyadari bahwa di dalam diri kita terletak sebuah kedamaian yang agung.

Ini adalah kedamaian yang lahir dari pemahaman bahwa kita semua, pada dasarnya, terhubung dalam perjalanan yang sama. Melalui cinta, kasih sayang, dan pencarian kebenaran, kita melintasi batas-batas yang memisahkan

Wahai para esoteris, berkumpulah. Karena di dalam diri kita masing-masing, di kedalaman jiwa, kita dapat menyentuh yang ilahi.

Di sinilah kita menyadari bahwa keberagaman hanyalah jalan menuju satu tujuan, dan kebenaran yang sejati selalu hadir dalam keheningan batin yang terdalam.

Jakarta, 17 Oktober 2024 ***

CATATAN

(1) Apapun agama yang kita yakini, atau kita tak meyakini agama apapun, ketika kita merenungkan yang kudus, ilahiah, yang maha, akan terjadi peningkatan aktivistas syaraf di lokasi yang sama:
Newberg, A. B., D'Aquili, E. G., & Rause, V. (2001). Why God Won't Go Away: Brain Science and the Biology of Belief.

Ballantine Books.

(1) Total jumlah agama yang kini hadir sebanyak 4200 agama, dengan ritusnya masing- masing.
 

Sumber: kiriman Denny JA

Berita Terkait