Puisi Esai Denny JA: Tjokroaminoto di Usia Senja
- Penulis : Rhesa Ivan
- Rabu, 22 Januari 2025 12:12 WIB
Di usia senja, Tjokro tersisih dalam sunyi,
melihat Sarekat Islam yang ia bangun,
retak dari dalam.
Cermin pecah berkeping-keping.
Angin kehilangan arah,
organisasi ini dulu satu, kini terpecah.
Ia juga melihat para muridnya,
bukan saja berbeda,
tapi berseberangan.
Bung Karno, nasionalis.
Muso, komunis.
Kartosuwiryo, negara Islam.
Di keheningan, ia menerima kenyataan,
peran Guru Bangsa hanya menyalakan api,
bukan menjaga awan dalam satu jalan.
Karena angin tak bisa dipaksa satu arah.
Burung terbang bebas di angkasa,
bebas membuat sarangnya sendiri.
Ia, Tjokroaminoto, kadang ragu dengan perannya.
“Apakah aku gagal, Syarif?”
tanya Tjokro.
Ia merasa menjadi debu
terbang di pusaran angin perpecahan.
Organisasinya, seperti cermin pecah berkeping,
murid-muridnya seperti obor di malam kelam,
bercahaya, tapi saling menghanguskan.
Banyak berkata, ‘Satukan mereka, wahai Guru!
Indonesia perlu mereka saling rangkul, bukan saling pukul.
Tapi Tjokro hanya tersenyum,
karena ia tahu,
angin tak bisa dipaksa berembus satu arah,
dan burung-burung itu,
Bung Karno, Muso, Kartosuwiryo,
perlu mengepakkan sayap sendiri,
mencari sarang di cakrawala mereka masing-masing.”