Jeritan dan Harapan Anak-anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia, Espresi Melalui Puisi Esai
- Penulis : Rhesa Ivan
- Sabtu, 20 Juli 2024 13:33 WIB

Saya diberi kabar proses penulisan puisi esai di sana.
“Prosesnya: Bengkel puisi esai 1 hari - kemudian pengayaan oleh guru 1 minggu - kemudian - penulisan 2 minggu - kemudian editing dan layout 2 minggu.
Rangkaian proses itu dibantu Badan Bahasa, terutama Datuk Jasni Matlani.”
Ada puisi esai berjudul: Setitik Cahaya, ditulis oleh Adinda Shaumi – Kelas IX.
Ia menggambarkan kisah seorang remaja bernama Muda yang diterima di sekolah impian. Namun Muda mengalami kesulitan karena ditangkap oleh polisi dan dipenjara.
Muda bertemu dengan seorang tahanan lain bernama Tama yang membantunya untuk melarikan diri. Dengan bantuan kunci dari Tama, Muda berhasil kabur dan bertekad membawa "setitik cahaya" bagi keluarganya dan memenuhi harapan ibunya.
Puisi ini mengangkat tema perjuangan, harapan, dan tekad untuk mencapai impian meskipun dihadang oleh berbagai rintangan.
“Pintu besi berhasil dibuka.
Muda melangkah keluar.
Melambaikan tangan kepada Tama.
Menunggu kamera pengawas berbalik.
Tiba di ujung lorong, ia menemukan pintu rahasia itu.
Dirogohnya kunci dari saku.
Membuka pintu itu dengan kaku.
Lalu, ia melihat cahaya bulan seperti lampu.
Berhasil.
‘Ayah, ibu, dan Bang Tama, tunggu aku bawa setitik cahaya, ya.’
Juga puisi esai berjudul: Pulang ke Indonesia, ditulis oleh Muajiza Revania – Kelas X.
Puisi esai ini bercerita tentang Tasha. Ia seorang gadis yang lahir dan besar di negara tetangga karena orang tuanya bekerja sebagai buruh migran.
Tasha bermimpi untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di sana. Meskipun ayahnya awalnya ragu, Tasha mendapatkan dukungan dari ibunya. Akhirnya, ia berhasil mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia.