Catatan Denny JA: Retreat para Penulis untuk Kemerdekaan
- Penulis : Rhesa Ivan
- Senin, 18 November 2024 10:05 WIB
“Kebebasan dan kemerdekaan itu seperti udara; kita hanya menyadarinya saat kita tercekik.”
— Pearl S. Buck
SPORTYABC.COM - Kebebasan, kemerdekaan, seperti udara, adalah kebutuhan yang sering diabaikan hingga berkurang kualitasnya. Kehadirannya terasa biasa, tapi kehilangannya menghancurkan.
Di sinilah tugas warga negara yang aktif, apalagi para penulis: menjaga napas kebebasan dan kemerdekaan itu tetap hidup. Kebebasan dan kemerdekaan tidak hanya direkam tetapi juga dipertahankan, dirawat, dan diwariskan.
Retreat para penulis berfungsi sebagai ruang untuk menghirup kembali napas kebebasan. Di Puncak Bogor yang sejuk, Agustus 2024, empat puluh penulis dari Aceh hingga Papua berkumpul untuk merenungkan makna kemerdekaan. Bukan sekadar merayakan masa lalu, tetapi memaknai kemerdekaan dalam tantangan zaman kini.
Seperti udara yang bergerak bebas, gagasan-gagasan di sini mengalir tanpa sekat. Mereka lahir dari pertemuan berbagai latar belakang: dari mereka yang pernah menulis dengan mesin ketik hingga generasi yang akrab dengan teknologi kecerdasan buatan; dari aktivis hingga ibu rumah tangga.
-000-
Sepanjang sejarah, penulis acapkali berdiri di garis depan dalam memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan.
Pramoedya Ananta Toer, lewat “Tetralogi Buru,” menggambarkan pergulatan identitas bangsa yang terkubur oleh kolonialisme.
Harriet Beecher Stowe, dalam Uncle Tom’s Cabin, membantu mengakhiri perbudakan di Amerika Serikat dengan menyentuh hati nurani sebuah bangsa.
Aleksandr Solzhenitsyn, melalui The Gulag Archipelago, mengungkap kekejaman sistem otoritarian di Rusia, menyuarakan penderitaan manusia kepada dunia.
Penulis bukan hanya pencatat sejarah. Mereka juga dapat menjadi pengubah arah sejarah. Lewat tulisan, mereka merumuskan kembali makna kebebasan dan menyampaikan pesan bahwa perjuangan untuk itu tidak pernah selesai.
-000-
Buku ini bunga rampai dari esai, puisi, cerpen, dan puisi esai, hasil renungan soal kemerdekaan. Semuanya menjawab satu pertanyaan: sudahkah kita merdeka?
Makna kemerdekaan dalam buku ini tidak seragam. Ada yang membahas kebebasan dalam konteks budaya, seperti dalam esai “Dimanakah Wastra Asli Tidore” oleh Annie Nugraha. Ia menggambarkan eksplorasi penulis dalam mencari kembali jejak tenun asli Tidore yang nyaris hilang.
Penulis memulai pencarian dengan wawancara warga lokal hingga menemukan alat tenun kuno. Penemuan ini menyadarkan akan pentingnya pelestarian budaya sebagai bagian dari identitas bangsa yang merdeka.
Esai ini menekankan bahwa kehilangan tradisi dan budaya lokal seperti wastra merupakan bentuk lain dari penjajahan budaya modern.
Dalam konteks kemerdekaan, pelestarian warisan seperti tenun Tidore adalah upaya merebut kembali jati diri yang telah lama terkikis oleh globalisasi dan modernisasi.
Penulis mengajukan gagasan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal politik, tetapi juga soal memelihara dan merayakan akar budaya.
“Sudahkah Pengidap Gangguan Mental Merdeka?” karya Damar Pratama mengeksplorasi sisi lain dari kemerdekaan.
Ini tantangan yang dihadapi oleh individu dengan gangguan mental di Indonesia, termasuk stigma sosial dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental.
Esai ini mempertanyakan apakah mereka benar-benar merdeka ketika hak dasar untuk mendapatkan perawatan dan dihormati sebagai manusia sering diabaikan.
Tulisan ini menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hanya tentang kebebasan fisik atau politik, tetapi juga kebebasan dari stigma dan diskriminasi.
Dengan mengangkat contoh nyata, penulis menyoroti kebutuhan mendesak untuk reformasi sistem kesehatan mental dan perubahan persepsi sosial, sehingga kemerdekaan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hak yang sama harus pula dirasakan oleh mereka yang hidup dengan gangguan mental.
Dalam “Kepintaran Buatan: Sahabat atau Penguasa?”, Saskia Ubaidi membahas ambivalensi kecerdasan buatan (AI). Apakah AI menjadi alat yang memperkaya kehidupan atau ancaman yang mengambil alih kendali manusia?
Penulis menggali dampak AI terhadap pekerjaan, privasi, dan otonomi pribadi, serta mengajukan pertanyaan mendalam tentang hubungan manusia dengan teknologi.
Esai ini menghubungkan tema kemerdekaan dengan tantangan era digital. Penulis berargumen bahwa kendali atas teknologi adalah bentuk baru perjuangan kemerdekaan.
Jika AI dibiarkan tanpa pengawasan etis, ia bisa menjadi penguasa yang mengancam kebebasan manusia.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk merenungkan peran mereka dalam mengarahkan perkembangan teknologi ke arah yang mendukung kemanusiaan.
Di samping tulisan non-fiksi, retreat penulis di puncak itu melahirkan pula cerita fiksi. Cerita “Mic Buat Guru Goy” karya Muhammad Thobroni mengisahkan seorang guru bernama Goy yang berjuang untuk tetap mengajar meski fasilitas sekolahnya sangat minim.
Mic yang digunakan Goy menjadi simbol ketekunan dan pengorbanan demi pendidikan anak-anak di desa.
Cerita ini memperlihatkan bahwa pendidikan adalah fondasi kemerdekaan, dan perjuangan seperti yang dilakukan oleh Guru Goy adalah langkah nyata untuk memerdekakan generasi muda dari kebodohan.
Tulisan ini menggugah pembaca untuk menghargai peran guru sebagai pejuang kemerdekaan non-militer yang berkontribusi pada pembangunan manusia.
“Matinya Sang Kritikus” karya Anwar Putra Bayu menceritakan dilema seorang kritikus seni. Ia menghadapi tekanan dari sistem yang mengorbankan idealismenya demi kenyamanan material.
Konflik internal dan eksternal membawanya pada pilihan tragis. Cerita ini mengeksplorasi kemerdekaan batin dalam dunia seni, di mana kebebasan berekspresi sering berbenturan dengan kekuasaan dan materialisme.
Tulisan ini menggambarkan bahwa tanpa kebebasan berpikir, seniman dan kritikus kehilangan jiwanya, yang juga berarti hilangnya kemerdekaan masyarakat dalam menikmati seni yang otentik.
Melalui alegori kehidupan tikus-tikus di bawah tanah yang melawan dominasi tikus besar, “Dilema di Liang Tikus” karya Galuh Kurnia menawarkan refleksi yang berbeda.
Ini fiksi tentang perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan oleh kelompok yang lebih kuat. Cerita ini menawarkan refleksi mendalam tentang kemerdekaan dalam konteks sosial.
Dengan bahasa yang penuh simbol, penulis menunjukkan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan adalah perjuangan universal yang melampaui spesies.
Tikus-tikus kecil adalah metafora bagi kelompok marginal yang berjuang untuk suara dan hak mereka di tengah sistem yang menindas.
Banyak lagi topik lain dari 26 penulis yang tak bisa dieksplor satu per satu.
-000-
Apakah esai dan fiksi para penulis itu bisa berdampak bagi bulat lonjongnya negara? Renungan esai dan fiksi yang dicontohkan di atas akankah punya efek bagi evolusi kemerdekaan di Indonesia, misalnya.
Sejarah menyediakan banyak contoh betapa pemikiran penulis itu, baik fiksi ataupun non-fiksi memang bisa berdampak. Kita dapat mengambil contoh dari negara lain.
Misalnya esai The Federalist Papers (1788) oleh Alexander Hamilton dan James Madison. The Federalist
Papers adalah kumpulan esai yang ditulis untuk meyakinkan warga negara Amerika Serikat tentang pentingnya meratifikasi Konstitusi AS.
Dalam esai-esai tersebut, penulis membahas prinsip-prinsip dasar demokrasi, pembagian kekuasaan, dan perlunya sistem pemerintahan federal yang kuat.
Buku ini menjadi landasan intelektual bagi pembentukan Konstitusi AS dan menciptakan pemahaman publik yang mendalam tentang pentingnya negara hukum, sistem checks and balances, dan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan negara bagian.
The Federalist Papers tidak hanya berdampak pada pembentukan sistem politik Amerika, tetapi juga menginspirasi sistem konstitusi di negara lain.
Untuk fiksi, kita bisa memberi contoh novel: To Kill a Mockingbird (1960) oleh Harper Lee. Novel ini mengangkat isu rasisme dan ketidakadilan sosial.
Itu terbaca melalui kisah pengacara Atticus Finch yang membela seorang pria kulit hitam. Sang pria dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih di Alabama pada 1930-an.
Dengan narasi yang sederhana namun kuat, Harper Lee mengekspos realitas diskriminasi rasial di Amerika Selatan.
To Kill a Mockingbird memicu diskusi nasional tentang rasisme dan ketidakadilan sosial, terutama di era gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat pada 1960-an.
Novel ini digunakan di sekolah-sekolah untuk mengajarkan toleransi dan keadilan. Meski tidak secara langsung mengubah hukum, buku ini memengaruhi cara masyarakat melihat isu diskriminasi. Ia membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung perubahan sosial.
Dua karya ini menunjukkan bagaimana tulisan dapat memengaruhi hidup bernegara. Esai dapat membentuk sistem politik yang mendasar, sementara fiksi bisa mengubah cara masyarakat memandang dan memahami isu-isu sosial yang kompleks.
-000-
Retreat para penulis tidak hanya tentang menulis, tetapi juga tentang menyatukan gagasan. Diinisiasi oleh pengurus Satupena 2024 dan bekerja sama dengan Okky Madasari, acara ini membawa para penulis dari berbagai daerah ke satu tempat.
Di sana, mereka berbagi keresahan, ide, dan inspirasi. Setiap suara memiliki tempat.
Mengapa berkumpul untuk menulis bersama juga penting?
Itu karena menulis adalah tindakan kolektif sekaligus personal. Dalam kesendirian, seorang penulis menggali kedalaman pikirannya. Tetapi dalam dialog, gagasan menemukan bentuk yang lebih utuh.
Retreat ini adalah ruang untuk menggabungkan keduanya, yaitu keheningan pribadi dan percakapan kolektif. Itu dapat menghasilkan karya yang tidak hanya indah, tetapi juga relevan.
“Tanpa jeda, lautan pikiran akan tetap bergelombang. Retreat adalah dermaga; tempat penulis berlabuh, mengendapkan badai ide, dan kembali ke samudra dengan arah yang lebih jelas.”
Jakarta, 18 November 2024 ***
Referensi
“The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity”
Penulis: Julia Cameron
Tahun Terbit: 1992
Penerbit: TarcherPerigee