Angkatan Puisi Esai. Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis
- Penulis : Rhesa Ivan
- Sabtu, 14 Desember 2024 19:57 WIB
Reaksi geram dari sebagian publik sastra Indonesia, terutama mereka yang disebut "aktivis sastra", tidak bisa dilupakan. Saya menjadi sasaran permusuhan sengit dan di media sosial disebut sebagai "Pembunuh Sastra Indonesia", dengan peringatan untuk tidak datang ke Indonesia lagi.
Salah satu komentar paling membingungkan datang dari seorang penyair Indonesia yang menikah dengan perempuan Jerman, yang menulis di Facebook: "Buku sampah itu [buku 33 Tokoh] sangat layak dibakar dan para penyusunnya dibuang ke Auschwitz."
Melihat kembali, polemik dan kehebohan tahun 2015 tentang puisi esai dan buku "33 Tokoh" memang terlihat konyol dan absurd, tetapi tetap akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Maka dapat dikatakan, bahwa karena puisi esailah, saya pun akan menjadi catatan pinggir dalam sejarah sastra Indonesia. Dan kini, sepuluh tahun kemudian, di tahun 2024, saya berurusan lagi dengan puisi esai, kali ini dalam kaitan dengan sebuah seri buku berjudul "Angkatan Puisi Esai".
Baca Juga: Catatan Denny JA: Memulai Tradiisi Ikut Merayakan Hari Raya Agama Lain secara Sosial
Akankah buku-buku ini, yang dapat dipahami sebagai postulat keberadaan sebuah "Angkatan Puisi Esai", kembali menimbulkan kontroversi tajam di kalangan publik sastra Indonesia? Ini sudah bisa diduga, meskipun mungkin tidak akan mencapai tingkat sengit dan tidak objektifnya polemik di tahun 2015.
Mungkin kali ini akan ada lebih sedikit diskusi tentang apakah puisi esai memenuhi syarat sebagai genre sastra. Menyangkal hal ini memang sudah menjadi semakin sulit sejak Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah "puisi esai" sebagai istilah baku dan sejak ratusan penulis secara terus-menerus menuliskan karya yang mereka definisikan sebagai "puisi esai".
Agaknya, sehubungan dengan pencanangan "Angkatan Puisi Esai", peran Denny JA sebagai maesenas gagasan dan tujuannya sendiri akan kembali dikritik dengan menyatakan bahwa itu saja yang menyebabkan keberhasilan puisi esai dan kegiatannya yang lain di bidang sastra.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Mereka Tak Terima Keyakinan yang Diberi Orangtuaku
Banyak orang memang mengabaikan fakta bahwa ide yang buruk atau nonsense tidak akan bertahan lama, bahkan dengan dukungan pendanaan terbesar sekalipun, dan bahwa ide "puisi esai" sekarang sudah mapan dan tidak memerlukan promosi lagi. Tetapi, kemarahan (dan rasa putus asa) sebagian publik sastra Indonesia pasti akan berlanjut.
Ini tidak mengherankan, karena memang sulit sekali untuk menerima bahwa seorang yang bukan sastrawan murni, apalagi penyair murni, memiliki pengaruh begitu besar terhadap sastra Indonesia modern, bahkan terhadap puisi kontemporer.
Mengenai gagasan dan proklamasi "Angkatan Puisi Esai", sikap saya sebenarnya tidak lepas dari berbagai pertimbangan skeptis yang bersifat dasariah.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet
Sejak dulu, sejak kuliah di jurusan sastra (Jerman dan Indonesia), saya sering tidak yakin dengan pengkotak-kotakan ke dalam era atau aliran, atau –seperti yang lazim terjadi di Indonesia– ke dalam "angkatan".