DECEMBER 9, 2022
Kolom

Puisi Denny JA: Mereka Tak Terima Keyakinan yang Diberi Orangtuaku

image
Sportyabc.com/kiriman

SPORTYABC.COM - Semarang, 2016. Anwar berdiri di depan gerbang sekolahnya,
sekolah yang dulu ia sebut rumah kedua.
Kini, ia merasa menjadi tamu tak diundang, tertolak oleh sesuatu yang tak ia pahami.1
-000-
. Keyakinan kami bukanlah kata dalam daftar resmi,
bukan deretan huruf di kolom KTP.

Hayu Ningrat, warisan leluhur yang menenun jiwa kami,
dipandang seperti bayang-bayang,
tak layak diterima terang.

Saat masih kanak, orang tuaku memberi keputusan:
“Daftarkan sebagai penganut agama tertentu agar ia aman di negeri ini.”
Namun kini, pilihan itu berubah duri.
Kata guru: “Kamu beragama ini di atas kertas,
maka doa seperti itu adalah keharusanmu.”

Baca Juga: Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya

Aku menolak, dengan hati yang gemetar,
sebab keyakinanku bukanlah permainan peran.

-000-

“Mengapa mereka memaksa aku menjadi asing?”
Anwar bertanya dalam sunyi.
“Mengapa warisan darahku tak diterima?
Adakah aku ini pohon yang salah tumbuh,
di tanah yang hanya menyukai mawar?”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Nasionalisme di Era Algoritma

Mata kepala sekolah dingin seperti batu sungai:
“Aturan adalah aturan,” katanya,
seperti itu jawaban Tuhan.

“Tanpa nilai praktik agama, kau tak naik kelas.”
Maka Anwar tak naik kelas.
Bukan karena bodoh,
tapi karena menolak menjadi orang lain.

Ia pernah menghadap kepala sekolah. “Pak, yang terdaftar itu memang bukan agamaku. Aku penganut kepercayaan. Tak bisa aku dipaksa berdoa dengan cara yang tak aku yakini.”

Baca Juga: Catatan Denny JA: Potret Batin Indonesia, Aceh hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z

Kepala sekolah: “Hidup di negeri ini ada aturannya, Nak. Hanya ada 6 agama yang diakui. Mau bagaimana lagi?”

Halaman:
Sumber: kiriman Denny JA

Berita Terkait