Puisi Denny JA: Mereka Tak Terima Keyakinan yang Diberi Orangtuaku
- Penulis : Rhesa Ivan
- Selasa, 03 Desember 2024 09:09 WIB

Anwar terdiam. Aturan itu lebih penting dari hatinya.
-000-
Kota ini telah lama mendesah dalam diam,
menyaksikan anak-anak seperti Anwar
menjadi serpih-serpih yang terpisah dari arus.
Dalam doa yang mereka ucapkan di rumah,
ada langit yang selalu mendengarkan,
namun tidak di ruang kelas yang sempit.
Pulang ke rumah, ayahnya memandangnya,
tak ada kata selain sebuah helaan panjang.
Ibunya, diam-diam, menangis di dapur,
sebab tak tahu apa yang bisa ia lakukan
selain melawan sistem yang bahkan tak ia pahami.
Baca Juga: Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya
Keyakinanku, seperti kertas kusut di lemari, disembunyikan dari cahaya.”
“Sekolah itu menjadi sumur kering, tak ada air untuk dahagaku.”
-000-
Baca Juga: Puisi Denny JA: Nasionalisme di Era Algoritma
Anwar berjalan di jalanan Semarang yang tua,
melewati klenteng dan masjid,
melewati sekolah yang kini hanya menjadi dinding.
Di hatinya, ada sebuah puisi tak selesai,
tentang hak yang tak diakui.
“Mereka memintaku menjadi beragama tertentu, katanya pada bayangannya sendiri,
“Namun bagaimana bisa aku menjadi suara,
yang tak sesuai dengan nadiku?”
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Potret Batin Indonesia, Aceh hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z
Di malam yang sunyi, ia menulis surat kepada angin:
“Jika suatu hari, anak-anak seperti aku,
dapat berdiri di sekolah tanpa takut,
mungkin inilah makna demokrasi.”