Kurban Idul Adha Tanpa Hewan: Sebuah Tafsir Baru
- Penulis : Rhesa Ivan
- Kamis, 08 Agustus 2024 08:18 WIB

Pandangan Shahid Ali Muttaqi mungkin belum menjadi mainstream saat ini. Namun dengan perkembangan kesadaran sosial dan filosofi yang terus berkembang, bukan tidak mungkin pandangan ini akan mendapatkan lebih banyak dukungan di masa depan.
Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa tetap menghormati dan menghargai setiap perbedaan dalam menjalankan keyakinan agama kita masing-masing.
Respons terhadap Denny JA
Saya memuji pandangan Denny di atas, yang mencari alternatif pandangan pertama dan kedua, dengan pandangan ketiga.
Dalam renungannya tentang Idul Adha, Denny mengusulkan bahwa hewan tidak harus selalu menjadi bagian dari kurban dalam ritus agama ini. Saya mengapresiasi pandangan Denny JA dengan mempertimbangkan data ekologi dan implikasinya terhadap lingkungan.
Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan dan hak-hak hewan telah mendapatkan perhatian yang lebih besar di seluruh dunia.
Hal ini mendorong berbagai kalangan, termasuk cendekiawan dan pemikir agama, untuk meninjau kembali praktik-praktik tradisional yang mungkin bertentangan dengan kesadaran ekologis dan etika kontemporer.
Kurban hewan selama Idul Adha adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad dan memiliki akar yang mendalam dalam sejarah Islam. Praktik ini tidak hanya memiliki makna religius tetapi juga sosial dan ekonomi.
Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dari berbagai aktivitas manusia, termasuk penyembelihan massal hewan, ada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali praktik-praktik ini.
Produksi daging memiliki dampak lingkungan yang signifikan, mulai dari deforestasi untuk lahan peternakan hingga emisi gas rumah kaca yang tinggi. Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO), sektor peternakan menyumbang sekitar 14,5% dari emisi gas rumah kaca global, yang sebagian besar berasal dari produksi daging sapi dan kambing.