DECEMBER 9, 2022
Kolom

Masa Depan Puisi Esai dan Refleksi tentang Musik Jazz

image
Sportyabc.com/kiriman

Eksperimen Generasi

Hari ini, kita semua terlibat dalam eksperimen budaya. Kita tidak hanya menjadi konsumen dari budaya yang ada, tetapi juga menjadi produser yang menciptakan sesuatu yang baru.

Kita telah membangun puisi esai sebagai genre baru. Kita telah menciptakan komunitasnya, melembagakannya, mengadakan festival puisi esai, dan bahkan merancang dana abadi untuk mendukungnya. Secara konsep, eksperimen ini sudah kokoh.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Potret Batin Indonesia, Aceh hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z

Namun, apakah ikhtiar ini berhasil atau tidak, sisanya tergantung pada eksekusi dan kualitas perjuangan kita.

Hari ini, saya ingin berbicara tentang masa depan puisi esai, tetapi saya akan memulainya dengan sebuah refleksi tentang musik jazz.

Baru-baru ini, saya membaca sebuah opini dari The New York Times yang diterbitkan pada tahun 1922, berjudul “Drawing a Line for Jazz” karya Robert Aldrich. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika 221 Penulis Bersaksi soal Pemilu dan Demokrasi di Indonesia, Tahun 2024

Opini ini menarik karena menggambarkan pandangan kritik dan elite budaya saat itu terhadap jazz, sebuah genre musik yang baru lahir. 

Jazz dianggap sebagai musik rendahan dan murahan, yang sering dimainkan oleh komunitas kulit hitam di tengah publik Amerika Serikat yang kala itu masih sarat dengan sentimen rasial. 

Musik ini juga banyak terpengaruh oleh tradisi Afrika, dan sering dimainkan di klub malam serta rumah bordil, sehingga dianggap memiliki cacat moral.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Retreat para Penulis untuk Kemerdekaan

Namun, hanya 30 tahun kemudian, pandangan terhadap jazz berubah drastis. Pada tahun 1938, jazz pertama kali tampil di Carnegie Hall, sebuah panggung prestisius di New York City. 

Halaman:
Sumber: kiriman Denny JA

Berita Terkait