Masa Depan Puisi Esai dan Refleksi tentang Musik Jazz
- Penulis : Rhesa Ivan
- Jumat, 13 Desember 2024 15:05 WIB
![image](https://img.sportyabc.com/2024/12/13/20241213111317Denny_JA_-_Festival_Puisi_Esai_Jakarta_2-1.jpg)
Oleh Denny JA
SPORTYABC.COM - Hari ini, Jumat, 13 Desember 2024, kita bertemu dalam Festival Puisi Esai Kedua di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, dengan tema Kesaksian Generasi Baru.
Ini adalah era baru bagi puisi esai. Kita mulai membuka ruang secara sistematis, mengajak generasi muda untuk berkarya dan memberikan kesaksian melalui medium ini.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Potret Batin Indonesia, Aceh hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z
Pada hari ini, kita mempublikasikan 18 buku puisi esai yang ditulis oleh generasi muda. Para penulis ini adalah teman-teman dan adik-adik kita yang berusia di bawah 25 tahun, dari Aceh hingga Papua, dari Malaysia dan Singapura, bahkan hingga London dan Kairo.
Sejak awal, kita meniatkan bahwa puisi esai tidak hanya menjadi milik satu generasi. Puisi esai tidak boleh mati bersama penggagasnya. Ia harus terus tumbuh, bergenerasi, dan hidup di tangan mereka yang muda. Inilah bagian sentral dari keberlanjutan sebuah genre baru.
Kita memahami bahwa sebuah genre hanya bisa bertahan jika memiliki komunitas yang berkelanjutan dan aktif.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika 221 Penulis Bersaksi soal Pemilu dan Demokrasi di Indonesia, Tahun 2024
Oleh karena itu, setelah festival ini, kita akan semakin membuka ruang dan jalan bagi publik luas untuk terlibat.
Kita ingin mengajak lebih banyak orang menulis puisi esai, untuk memberikan kesaksian tentang ketidakadilan yang mereka lihat, tentang pelanggaran hak asasi manusia, atau tentang perempuan yang dirampas haknya. Forum puisi esai menjadi wadah bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Dari komunitas yang besar ini, kita berharap akan lahir creative minority. Akan muncul 1, 2, 3, hingga 5 penyair baru yang mampu menyumbangkan lompatan estetis dan kualitas yang signifikan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Retreat para Penulis untuk Kemerdekaan
Sebagaimana Duke Ellington dan Louis Armstrong mengubah jazz, kita berharap para penyair ini akan membawa puisi esai ke level yang lebih tinggi. Mereka adalah penjaga sekaligus inovator dari genre ini.
Eksperimen Generasi
Hari ini, kita semua terlibat dalam eksperimen budaya. Kita tidak hanya menjadi konsumen dari budaya yang ada, tetapi juga menjadi produser yang menciptakan sesuatu yang baru.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai
Kita telah membangun puisi esai sebagai genre baru. Kita telah menciptakan komunitasnya, melembagakannya, mengadakan festival puisi esai, dan bahkan merancang dana abadi untuk mendukungnya. Secara konsep, eksperimen ini sudah kokoh.
Namun, apakah ikhtiar ini berhasil atau tidak, sisanya tergantung pada eksekusi dan kualitas perjuangan kita.
Hari ini, saya ingin berbicara tentang masa depan puisi esai, tetapi saya akan memulainya dengan sebuah refleksi tentang musik jazz.
Baca Juga: Festival Puisi Esai Jakarta 2024 Kembali Hadir dengan Puluhan Tokoh Sastra Nasional dan Luar Negeri
Baru-baru ini, saya membaca sebuah opini dari The New York Times yang diterbitkan pada tahun 1922, berjudul “Drawing a Line for Jazz” karya Robert Aldrich.
Opini ini menarik karena menggambarkan pandangan kritik dan elite budaya saat itu terhadap jazz, sebuah genre musik yang baru lahir.
Jazz dianggap sebagai musik rendahan dan murahan, yang sering dimainkan oleh komunitas kulit hitam di tengah publik Amerika Serikat yang kala itu masih sarat dengan sentimen rasial.
Baca Juga: Denny JA Membuka Festival Puisi Esai: Penting Memadukan Isu Sosial dan Puisi
Musik ini juga banyak terpengaruh oleh tradisi Afrika, dan sering dimainkan di klub malam serta rumah bordil, sehingga dianggap memiliki cacat moral.
Namun, hanya 30 tahun kemudian, pandangan terhadap jazz berubah drastis. Pada tahun 1938, jazz pertama kali tampil di Carnegie Hall, sebuah panggung prestisius di New York City.
Carnegie Hall adalah tempat yang hanya menerima pertunjukan musik yang diakui memiliki nilai seni tinggi.
Dari sini, jazz terus berkembang hingga tampil di festival internasional, menyebar dari New Orleans ke Eropa, seperti Prancis dan Belanda.
Tokoh-tokoh seperti Louis Armstrong dan Duke Ellington menjadi pelopor dalam membangun citra jazz sebagai seni tinggi.
Perubahan ini mengajarkan kita banyak hal. Bagaimana musik yang awalnya dicemooh sebagai “musik kaum rendahan” dapat diakui sebagai inovasi dan seni berkelas?
Dua Faktor yang Mengubah Citra Jazz
Ada dua hal yang membuat jazz mampu bertahan dan berkembang menjadi genre yang dihormati.
Pertama, komunitas yang aktif dan berkelanjutan, meskipun pada awalnya dihujat, komunitas jazz tetap hidup.
Mereka terus berkarya, menciptakan lagu-lagu baru, tampil di berbagai panggung, dan mengadakan festival-festival.
Komunitas yang aktif dan berkelanjutan ini menjadi kekuatan utama dalam menjaga eksistensi jazz, bahkan melampaui opini negatif dari para kritikus dan elit budaya saat itu.
Kedua, lahirnya Creative Minority. Dari komunitas jazz, muncul individu-individu brilian—creative minority—yang memberikan lompatan estetis.
Tokoh seperti Louis Armstrong dan Duke Ellington menghadirkan inovasi dan kualitas tinggi yang meningkatkan citra jazz.
Mereka membuktikan bahwa sebuah genre baru dapat berkembang jika memiliki pilar kreatif yang kuat.
Pelajaran untuk Puisi Esai
Kisah jazz ini adalah lesson to learn untuk komunitas puisi esai. Jika puisi esai ingin tumbuh berkelanjutan, pertama, ia membutuhkan komunitas yang hidup, aktif, dan konsisten berkarya. Komunitas inilah yang akan menjadi fondasi bagi keberlanjutan puisi esai.
Kedua, kita harus mendorong lahirnya creative minority dalam komunitas ini. Penyair-penyair berbakat yang mampu memberikan sumbangan estetis dan inovasi, menjadikan puisi esai lebih bermakna dan relevan.
Taman Ismail Marzuki, 13 Desember 2024