DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Hukum Merayakan Maulid Nabi Apakah Bidah ?

image
Ilustrasi Kota Teheran, Iran yang merayakan Maulid Nabi (Pixabay)

SPORTYABC.COM –Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dimulai pada tahun 230 Hijriah, diprakarsai oleh Dinasti Syi'ah Fatimiyah di Mesir. 

Dinasti ini tidak hanya merayakan hari lahir Nabi, tetapi juga merayakan lahir orang-orang terkenal seperti Hasan, Husain, Fatimah, Ali, dan para khalifah.

Kegiatan tersebut  terus berlanjut, terutama di Iran, di mana perayaan ini masih menjadi tradisi yang penting. 

Baca Juga: Inilah Dua Amalan di Bulan Maulid Menurut Ustadz Abdul Somad

Namun, perayaan tersebut telah menimbulkan kontroversi di kalangan Sunni, dengan banyak yang mengkritik ajaran tersebut berasal dari kepercayaan Syiah, yang mengklaim bahwa ajaran tersebut menyimpang dari sistem Islam tradisional.

Perayaan maulid sering kali mencakup pembacaan Maulid dan berbagai bentuk dzikir, yang diyakini dapat menghubungkan mereka dengan roh Nabi, sebuah gagasan yang banyak ditentang oleh komunitas Sunni.

Banyak cendekiawan Sunni yang salah menerapkan perayaan tersebut. Keyakinan Syiah termasuk tidak menghormati para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dan mengklaim bahwa Al-Quran tidak lengkap.

Baca Juga: Berziarah ke Borobudur, Denny JA Terhubung ke Masa Silam

Konteks historis ini tidak hanya menyoroti perbedaan antara interpretasi Sunni dan Syiah, tetapi juga menyoroti konflik budaya dan teologis di sekitar perayaan tersebut, yang mencerminkan perpecahan sektarian yang lebih luas dalam komunitas Muslim.

Kaum Syiah memulai kegiatan tersebut di bawah pengaruh perayaan ulang tahun Yesus oleh orang Romawi. 
Para cendekiawan akan setuju bahwa Nabi Muhammad tidak pernah merayakan hari kelahirannya dengan cara tersebut.

Kebiasaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad muncul di kalangan Syiah sebagai respons terhadap pengaruh budaya Kekaisaran Romawi Bizantium, terutama selama mereka berada di Mesir.

Baca Juga: Kunci Sukses Denny JA di Semua Bidang Ada dalam Buku Terbarunya

Mengamati tradisi Romawi yang merayakan kelahiran Yesus, para ulama Syiah mengusulkan perayaan serupa untuk Nabi, yang kemudian berujung pada pembentukan kegiatan perayaan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, peringatan ini menjadi bahan perdebatan, terutama di kalangan peneliti yang mempertanyakan keabsahannya. 

Mereka menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak merayakan ulang tahunnya dengan cara seperti itu, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang alasan di balik praktik tersebut saat ini.

Baca Juga: Inilah Empat Amalan Sunah pada Bulan Maulid, Sayang Jika di Tinggalkan

Ibnu Katsir mengemukakan bahwa  ayat 3 Surat Al-Ma'idah membuktikan bahwa Islam telah sempurna dan tidak memerlukan sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang diperlukan untuk bimbingan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad mengingatkan para pengikutnya bahwa segala sesuatu diperintahkan dari Allah dan tidak ada yang boleh ditambahkan atau dikurangi dari agama.

Menjelang akhir hayatnya, beliau menekankan bahwa segala sesuatu yang diperlukan untuk keimanan telah diberikan, dan menyerukan kepada para pengikutnya untuk tidak menambah atau mengurangi apa pun dari prinsip-prinsip Islam yang sudah mapan.

Baca Juga: Inilah Sejarah Awal Mula Munculnya Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Beliau mendorong umat Islam untuk menyumbangkan kekayaan sepanjang hidup mereka, dan menekankan bahwa kekayaan materi hanya bersifat sementara. Nabi menekankan pentingnya cinta  melalui ajarannya.

Ajaran sesat besar seperti Syiah atau Khawarij berbeda dengan ajaran sesat kecil seperti perayaan Maulid Nabi yang tidak mengubah dasar keyakinannya. 

Keyakinan yang melibatkan permintaan bantuan dari orang yang meninggal dianggap sebagai ajaran sesat.
Meskipun ajaran sesat kecil ini salah, namun tidak mengecualikan komunitas Sunni.  Keyakinan bahwa ruh Nabi menyaksikan peristiwa Maulid terbantahkan.

Baca Juga: Inilah Maulid Nabi Menurut 4 Mazhab

Contoh sejarah menunjukkan bahwa para sahabat tidak meminta pertolongan kepada Nabi Muhammad setelah wafatnya.

Cara yang tepat untuk menghormati hari lahir Nabi Muhammad yaitu dengan berpuasa pada hari Senin. Merayakannya dengan berpuasa mingguan, bukan tahunan, sesuai dengan adat. 

Perayaan Maulid seringkali dianggap sebagai tolak ukur keimanan, sedangkan sunah-sunnah penting lainnya diabaikan.

Kecintaan sejati kepada Nabi harus ditunjukkan dengan ketaatan yang gigih terhadap ajaran-ajaran-Nya dan praktik keagamaan yang teratur, bukan dengan perayaan-perayaan yang kadang-kadang terjadi.***

Penulis : Tias Atika Suri 
 

Sumber: Youtube

Berita Terkait