Catatan Denny JA: Membawa Spirit para Sufi ke Era Artificial Intelligence
- Penulis : Rhesa Ivan
- Kamis, 19 Desember 2024 12:12 WIB
-000-
Teknologi dan Ilusi Makna
Di era dominasi teknologi, khususnya media sosial, manusia menghadapi paradoks yang mencolok: semakin banyak informasi, semakin sedikit pemahaman; semakin terhubung secara digital, semakin terputus secara emosional.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Retreat para Penulis untuk Kemerdekaan
Media sosial, sebagai contoh, telah menjadi panggung yang menampilkan versi terbaik dari kehidupan orang lain.
Gambar-gambar liburan mewah, pencapaian karier, atau momen bahagia keluarga sering kali menciptakan ilusi bahwa hidup orang lain sempurna.
Namun, di balik layar, kenyataan sering kali jauh dari gambaran tersebut. Penelitian dari Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan rasa iri dan ketidakpuasan diri.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Quick Count Tak Bisa Putuskan Pilkada Jakarta 2024 Satu atau Dua Putaran
Algoritma media sosial dirancang untuk memperkuat keterlibatan, tetapi sering kali memperparah perasaan tidak berharga dan isolasi. Dalam proses ini, teknologi menciptakan ilusi makna yang dangkal, menggantikan hubungan sejati dengan pengakuan digital yang sementara.
Makna sejati tidak ditemukan di layar ponsel, tetapi dalam hubungan yang nyata—dengan sesama, alam, dan
Tuhan. Hubungan ini tidak dibangun dari angka like atau followers, melainkan dari keintiman emosional, kasih sayang, dan saling peduli.
Baca Juga: Festival Puisi Esai Jakarta 2024 Kembali Hadir dengan Puluhan Tokoh Sastra Nasional dan Luar Negeri
Untuk melawan ilusi ini, manusia harus kembali kepada esensi spiritualitas. Refleksi, doa, atau meditasi lintas tradisi menjadi kunci untuk menemukan kedalaman di tengah kebisingan digital.