DECEMBER 9, 2022
Buku

Catatan Denny JA: Di Balik Buku Demokrasi dengan Rekor Terbanyak 221 Penulis

image
Sportyabc.com/kiriman

SPORTYABC.COM - “Buku adalah cerita yang kita baca, tetapi proses menulisnya adalah kehidupan yang menyala di balik layar.”

Pesan ini menggambarkan bahwa buku adalah bentuk final dari sebuah karya. Namun, proses menulisnya adalah sebuah perjalanan tersendiri, kadang penuh emosi, perjuangan, dan cermin sebuah zaman.

Kutipan ini yang saya renungkan ketika membaca kembali buku yang membuat rekor, karya Perkumpulan Penulis SATUPENA.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Quick Count Tak Bisa Putuskan Pilkada Jakarta 2024 Satu atau Dua Putaran

Ketika “Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024” akhirnya diterbitkan, ia tak hanya hadir sebagai kumpulan gagasan tentang demokrasi Indonesia.

Ia tercatat dalam sejarah. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberikan pengakuan resmi: inilah buku demokrasi dengan jumlah penulis terbanyak, 221 orang, dan genre terlengkap—esai, cerpen, puisi, dan puisi esai.

Namun, yang menjadikannya istimewa bukan sekadar angka atau genre. Ia adalah cermin dari polarisasi politik Indonesia di ujung tahun 2024. Ini sebuah periode penuh gejolak antara pilpres dan pilkada.
Polarisasi ini tak hanya mengguncang politik nasional, tetapi juga mengguncang dunia penulis.

Baca Juga: Masa Depan Puisi Esai dan Refleksi tentang Musik Jazz

Sebagai ketua umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, saya berada di tengah badai. Beberapa penulis menginginkan organisasi ini berdiri tegas melawan kebijakan pemerintah melalui petisi.

Sementara sekelompok penulis lain menolak keras. Mereka tak ingin SATUPENA terseret ke politik praktis.Ada yang ingin tetap mendukung pemerintah, ada yang tak suka dengan pendekatan petisi kolektif, dan ada pula yang hanya ingin menjaga independensi organisasi.

Di tengah kerumitan itu, lahirlah solusi: sebuah buku. Buku ini menjadi wadah bagi semua suara—baik pro maupun kontra. Setiap penulis bebas mengekspresikan pikirannya dalam bentuk apa pun, tanpa sensor, tanpa pembatasan ideologi.

Baca Juga: Angkatan Puisi Esai. Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis

Di sinilah buku ini menjadi unik: ia tidak hanya merekam pemikiran, tetapi juga perdebatan yang melahirkannya.

Halaman:
Sumber: Kiriman SATUPENA

Berita Terkait