Catatan Denny JA: Di Balik Buku Demokrasi dengan Rekor Terbanyak 221 Penulis
- Penulis : Rhesa Ivan
- Sabtu, 28 Desember 2024 11:11 WIB
Mereka memandang menulis esai tanpa keberanian untuk menandatangani petisi sebagai sikap pasif, bahkan kompromis.
Menulis esai dianggap terlalu abstrak untuk menciptakan dampak langsung, sementara petisi kolektif adalah wujud nyata dari solidaritas.
Sinisme mereka berakar pada keyakinan bahwa penulis memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyuarakan opini, tetapi juga bertindak.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Quick Count Tak Bisa Putuskan Pilkada Jakarta 2024 Satu atau Dua Putaran
Bagi sebagian penulis, petisi kolektif justru membatasi kebebasan individu. Mereka khawatir isi petisi akan memaksa kompromi, mengurangi nuansa atau kedalaman pikiran mereka demi mencapai konsensus.
Sebagai individu yang menghargai independensi, mereka menolak menjadi bagian dari tindakan kolektif yang mungkin mencederai orisinalitas visi mereka.
Sinisme mereka mencerminkan kecemasan bahwa suara kolektif kadang mengorbankan kejujuran personal demi kepentingan politis.
Baca Juga: Masa Depan Puisi Esai dan Refleksi tentang Musik Jazz
Penulis yang sudah berniat mundur dari organisasi berasal dari kekecewaan terhadap dinamika internal yang dianggap terlalu politis.
Bagi mereka, organisasi seperti SATUPENA seharusnya menjadi ruang netral untuk mengeksplorasi gagasan, bukan medan pertarungan politik praktis.
Polarisasi dalam organisasi dianggap merusak tujuan utama: mendukung literasi dan kreativitas. Mundur adalah cara mereka menjaga integritas, menghindari konflik yang tidak relevan dengan visi awal organisasi, dan fokus pada karya pribadi mereka.
Baca Juga: Angkatan Puisi Esai. Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis
Ketiga sikap ini mencerminkan ketegangan antara idealisme, pragmatisme, dan independensi yang sering muncul dalam komunitas intelektual.